Seperempat dari Dia
Sekarang pukul setengah dua pagi. Aku kebablasan membaca cerita di wattpad dari pukul sembilan tadi. Biasanya aku gak begini, sungguh. Entah keindahan diksinya, atau isi ceritanya yang membuat aku gak mau berhenti baca. Intinya aku kebablasan.
Dipikir - pikir, aku jarang sekali membicarakan dia, si pencuri warasku, di sini. Dan dipikir - pikir, aku rindu berat dengannya malam ini. Jadi, mohon izin, aku ingin menceritakan sedikit demi sedikit tentang mulutnya yang semanis gula itu. walau kisah kami sepahit kopi bubuk di dapurku, sih.
Pertemuan kami bisa dibilang cukup klise. Karena aku dan dia adalah teman sekelas di tahun terakhir putih abu. Meski satu sekolah, sebelumnya kami gak pernah bertemu walau hanya sekedar berpapasan.
Sebentar.
Sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tapi hanya satu arah; aku yang sedang mencatat rumus matematika melihatnya datang ke kelas sebelah sebagai anak baru saat tahun kedua di SMA. Ya, hanya pada saat itu saja.
Pertama kali aku menginjakkan kaki di kelas dua belas pun, aku kenal semua orang kecuali dia dan wanita pendiam yang waktu itu duduk di belakangku--sekarang kami sudah akrab, kok!
Dia sering memperhatikanku saat aku sedang bertingkah bodoh. Aku tahu aku terdengar seperti seorang narcissist sekarang, tapi sungguh, dia selalu memperhatikanku! Hingga pada suatu hari, aku mengajaknya bergabung untuk nonton film bajakan bersama. Tentu saja dia bilang iya. Dan sejak saat itu, aku menyesal pernah mengenal dirinya lebih dalam.
•••
Aku ingat sekali. Hari itu adalah hari senin, hari pertama ujian akhir semester, pelajaran Bahasa Indonesia, PKN, dan Matematika. Aku datang lebih awal karena embel - embel hari pertama; besoknya aku hampir terlambat. Aku sedang mengulang membaca buku PKN saat itu, hingga dia datang dan membuatku ingin menyingkirkan buku yang sedang aku baca saja daripada tidak berbicara dengannya.
"Rajin banget, sih? Kamu udah pinter gak usah belajar lagi."
Yang hanya aku tanggapi dengan "Biarin."
"Astaga!! Aku lupa bawa kartu! Gimana dong?!" dasar ceroboh.
Aku gak heran lagi. Dia memang selalu begini.
"Yaudah ke kantor aja, minta kartu baru." jawabku mencoba memberi solusi.
"Aku gak berani, nih! Temenin, yuk? Ya? Ayolah temenin." aku bisa apa kalau kamu sudah begini?
"Yaudah, ayo." i mean, siapa yang rela menyia-nyiakan kesempatan lebih dekat dengan dia?
Setelah kurang lebih lima belas menit, akhirnya dia keluar dari ruang guru dengan cengiran lebar khas miliknya.
"Makasih ya, udah nemenin!"
aku hanya mengangguk.
"Aku janji, deh! Kalau nanti kamu butuh sesuatu, atau kamu ada yang ngapa-ngapain, aku bakalan jadi orang pertama yang stand up paling depan buat kamu!" terdengar childish memang, tapi aku suka. Lebih tepatnya, aku suka kamu.
Aku memang gak pernah berharap lebih dari apa yang telah dia janjikan. Tapi aku ingin berharap lebih. Setidaknya hanya untuk malam ini.
Sampai bertemu di lain waktu, nanti, jika aku sedang rindu.
-9th of July.
Dipikir - pikir, aku jarang sekali membicarakan dia, si pencuri warasku, di sini. Dan dipikir - pikir, aku rindu berat dengannya malam ini. Jadi, mohon izin, aku ingin menceritakan sedikit demi sedikit tentang mulutnya yang semanis gula itu. walau kisah kami sepahit kopi bubuk di dapurku, sih.
Pertemuan kami bisa dibilang cukup klise. Karena aku dan dia adalah teman sekelas di tahun terakhir putih abu. Meski satu sekolah, sebelumnya kami gak pernah bertemu walau hanya sekedar berpapasan.
Sebentar.
Sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tapi hanya satu arah; aku yang sedang mencatat rumus matematika melihatnya datang ke kelas sebelah sebagai anak baru saat tahun kedua di SMA. Ya, hanya pada saat itu saja.
Pertama kali aku menginjakkan kaki di kelas dua belas pun, aku kenal semua orang kecuali dia dan wanita pendiam yang waktu itu duduk di belakangku--sekarang kami sudah akrab, kok!
Dia sering memperhatikanku saat aku sedang bertingkah bodoh. Aku tahu aku terdengar seperti seorang narcissist sekarang, tapi sungguh, dia selalu memperhatikanku! Hingga pada suatu hari, aku mengajaknya bergabung untuk nonton film bajakan bersama. Tentu saja dia bilang iya. Dan sejak saat itu, aku menyesal pernah mengenal dirinya lebih dalam.
•••
Aku ingat sekali. Hari itu adalah hari senin, hari pertama ujian akhir semester, pelajaran Bahasa Indonesia, PKN, dan Matematika. Aku datang lebih awal karena embel - embel hari pertama; besoknya aku hampir terlambat. Aku sedang mengulang membaca buku PKN saat itu, hingga dia datang dan membuatku ingin menyingkirkan buku yang sedang aku baca saja daripada tidak berbicara dengannya.
"Rajin banget, sih? Kamu udah pinter gak usah belajar lagi."
Yang hanya aku tanggapi dengan "Biarin."
"Astaga!! Aku lupa bawa kartu! Gimana dong?!" dasar ceroboh.
Aku gak heran lagi. Dia memang selalu begini.
"Yaudah ke kantor aja, minta kartu baru." jawabku mencoba memberi solusi.
"Aku gak berani, nih! Temenin, yuk? Ya? Ayolah temenin." aku bisa apa kalau kamu sudah begini?
"Yaudah, ayo." i mean, siapa yang rela menyia-nyiakan kesempatan lebih dekat dengan dia?
Setelah kurang lebih lima belas menit, akhirnya dia keluar dari ruang guru dengan cengiran lebar khas miliknya.
"Makasih ya, udah nemenin!"
aku hanya mengangguk.
"Aku janji, deh! Kalau nanti kamu butuh sesuatu, atau kamu ada yang ngapa-ngapain, aku bakalan jadi orang pertama yang stand up paling depan buat kamu!" terdengar childish memang, tapi aku suka. Lebih tepatnya, aku suka kamu.
Aku memang gak pernah berharap lebih dari apa yang telah dia janjikan. Tapi aku ingin berharap lebih. Setidaknya hanya untuk malam ini.
Sampai bertemu di lain waktu, nanti, jika aku sedang rindu.
-9th of July.
Komentar
Posting Komentar