7 years.
"This is the most recent story of mine. Aku sedang ingin bercerita, karena dari sini aku belajar banyak hal. Maaf jika terlalu panjang. Semoga berkenan membacanya sampai akhir."
Aku memiliki seseorang yang aku kagumi sejak duduk di bangku SMA. Dia hangat, cerdas, dan punya selera humor yang tinggi. Dia berbeda dari kebanyakan anak SMA pada saat itu. Tapi yang paling membuatku tertarik adalah saat ia mengajariku cara bermain rubik. Aku ingat dengan jelas bagaimana binar matanya terpancar saat menjelaskan rumus-rumus rubik kepadaku. Dalam hitungan detik, aku dapat memahami bahwa ia jatuh cinta dengan rubik itu, dan aku jatuh cinta dengannya.
Singkat cerita, setelah lulus SMA, aku dan dia masuk ke universitas di kota yang berbeda. Meskipun begitu, kami masih sering berkomunikasi melalui WhatsApp dan Instagram, tetapi tidak intens karena kami bukan siapa-siapa satu sama lain. Saat kami masih menjadi mahasiswa baru, ia juga sering membalas ceritaku di Instagram. Begitu juga sebaliknya. Sampai ketika kami sama-sama menapaki semester dua yang penuh dengan jadwal kelas dan praktikum, aku mulai melupakan dia secara tidak sengaja.
Empat tahun berlalu, aku akhirnya mendapatkan gelar sarjana pertamaku. Saat aku tenang, aku kembali teringat dia. Aku sudah tidak lagi memiliki nomor ponselnya yang aktif, jadi aku mencarinya di Instagram. Tetapi, yang aku lihat hanyalah akun kosong. Aku bahkan tidak bisa membuka profile-nya, dan ternyata ia telah menonaktifkan akunnya. Bohong jika aku tidak sedih dan rindu. Hidupnya sangat private sehingga aku tidak dapat menemukan informasi apapun tentangnya di sosial media lain. Maka aku ketikkan nama lengkap serta universitasnya di PDDIKTI. Semua mahasiswa pasti tau website ini. Aku melihat statusnya yang ternyata masih aktif, artinya ia belum lulus. Sejak tahu itu, aku sering mengirimkannya pesan satu arah di Instagram dan Line (yang aku yakini juga tidak lagi aktif). Entah itu berbagi cerita atau semangat, walaupun yang aku dapati hanya keheningan.
Waktu terus berjalan hingga pada awal 2025, aku kembali teringat dia. Aku mengetik namanya lagi di PDDIKTI. Senyum lebar tergambar di wajahku dalam seketika. Ia berhasil lulus! Jujur, aku sangat senang pada saat itu.
Sedikit TMI, adikku dan adiknya juga merupakan teman di SMA. Sungguh ketidaksengajaan yang sangat aku syukuri. Suatu hari, aku meminta adikku untuk menanyakan nomor ponsel lelaki ini dengan alasan ada yang ingin aku tanyakan mengenai universitas tempat ia berkuliah. DAMN, my sister got his numbers! Rasanya aku ingin terbang ke bulan!
Aku kumpulkan keberanianku setelah berpikir semalaman. Aku mulai pesanku dengan menginformasikan bahwa itu aku, dan memulai pertanyaan bohong yang telah aku rencanakan. Namun, sepertinya aku terlalu naif dan percaya diri. Sehingga aku tidak menyisakan bahkan sedikit ruang kecewa atas apa yang akan menyambutku. Pada balasan pertama, ia berhasil membuat tubuhku kaku sejenak.
"Siapa ya?" Singkat. Tetapi menembak tepat di hatiku. Lantas aku jelaskan lagi identitasku yang dibalas dengan "Bercanda". Yes. He was joking, but my tears rolled down my cheeks already.
Pesan-pesannya begitu singkat dan terkesan penuh paksaan, hingga aku berpikir siapa yang sedang mengetik di ujung sana? Dia sangat berbeda dengan ia tujuh tahun yang lalu. Aku tidak dapat lagi melihat dirinya yang jago fisika dan suka rubik itu. Aku tidak mengenalinya lagi. Selain itu, di awal aku sampaikan bahwa aku juga mengiriminya pesan di Instagram saat akunnya sedang tidak aktif. Mungkin dunia sedang tidak di pihakku atau memang aku bodoh tidak mengetahui fakta bahwa pesan-pesan tersebut akan terkirim saat akunnya aktif kembali. Semua yang aku kirimkan berhasil sampai dan terbaca olehnya. Ia membalas pesan terakhirku yang menanyakan kabarnya, "(Nama), how's life?", dengan sebuah foto meme yang menurutku berarti "life's hard but i survived". Aku lega, tetapi rasa malu atas ekspektasiku yang tidak sampai membuatku mengabaikan pesannya hingga detik ini. Memang aneh. Sampai pada kalimat ini, aku menyimpulkan bahwa aku harus mengubur dalam-dalam rasa suka ku padanya.
People change, kata kebanyakan orang di internet. Bahkan tanpa aku sadari, aku juga berubah. Lantas mengapa aku masih mengharapkan dia tetap sama seperti ia tujuh tahun yang lalu? Hidup memang menempa diri dari segala sisi, terkadang tanpa bisa meminta campur tangan orang lain. Tak sedikit yang harus menghadapi berbagai emosi di dunia ini hingga kita harus memahat ribuan topeng untuk tetap bertahan. Topeng itu berserakan, membuat mata dan pikiran tidak dapat lagi memilah mana yang seharusnya terpajang. Dia, dan aku tujuh tahun yang lalu telah hilang digantikan kenyataan. Mau tidak mau aku harus selesaikan perasaanku. Mau tidak mau aku harus membangun rumah untuk kecewaku, dan ikhlasku.
I'll stop loving you, S. But you, the YOU from seven years ago, he will live inside me. He will become eternal here, deep in my heart. If another life do exist, i would still choose to meet you.
-d.
Komentar
Posting Komentar